Pahlawan Super Perempuan Indonesia (Review Film Sri Asih)
Jarak tiga tahun dari Gundala (2019) film pertama rentetan Bumilangit Universe bisa jadi menyumbang beban besar buat Sri Asih (2022) sebagai penerusnya. Selain berhasil menjual 1,6 juta tiket, Gundala juga pasang standar tinggi cerita superhero (alias adiksatria) dalam negeri. Teknis, penceritaan, dan penampilan para aktornya boleh dibilang berhasil jadi pemancing dahaga para calon penonton adiksatria khas Indonesia.
Jumlah penonton Sri Asih yang belum sejuta (sampai ulasan ini ditayangkan) juga beberapa kali jadi kepala berita. Maklum, penjualan tiket tembus sejuta belakangan jadi patokan sukses-tidaknya sebuah film, menurut media kita.
Dari segi penceritaan (storytelling), padahal Sri Asih masih tak jauh beda dengan Gundala. Ia memakai arketipe pahlawan super klasik: baik lawan buruk. Alana (Pevita Pearce), anak yatim-piatu yang dititiskan kekuatan Dewi Asih (Maudy Koesnaedi) dan bertransformasi jadi Sri Asih, adalah lambang kebaikan itu.
Pembabakan ceritanya juga tidak terlalu beda dari kisah Sancaka (Abimana) di Gundala. Kita akan dipertontonkan kisah hidup Alana kecil, bahkan sejak ia masih dalam kandungan ibunya; bertemu sahabatnya Tangguh (yang konon akan jadi superhero Sembrani), sampai akhirnya bertemu mentornya, Sarita (Jenny Zhang). Hanya saja, bagian ini dibikin lebih ringkas dan pendek bila dibandingkan cerita Sancaka kecil (Muzzaki Ramdhan) saat bertemu Awang (Faris Fadjar), yang adalah sahabat kecil sekaligus mentornya.
Bedanya, pengembangan karakter Sancaka terasa lebih rapi dan dipikirkan ketimbang Alana dan latar belakang masa hidupnya.
Keinginan Sancaka jadi pahlawan super lebih banyak digerakan dari pihak-pihak di luar dirinya. Ia sendiri menentang dorongan itu dari internal. Sebelum akhirnya menyebut-nyebut nama rakyat berkali-kali dan ingin menolong mereka dari rencana buruk Pengkor (Bront Palarae), Sancaka harus melihat orang-orang terdekatnya tersiksa—kalau tidak mati. Ia diseret karakter-karakter lain di sekitarnya untuk jadi pahlawan super.
Meski juga didorong karakter-karakter di sekitarnya, Alana cenderung tidak terlalu menentang takdirnya sebagai adiksatria. Tak ada perlawan berarti dari internal karakternya, ketika Eyang Mariani (Christine Hakim)—arketipe The Herald alias si penyampai pesan—mengabarkan kalau ia adalah titisan berikutnya Sri Asih. Alana memang sempat mengira Sarita mati dibunuh calon musuh besarnya, tapi adegan itu tak menambah kedalaman pada karakter Alana—sebagaimana kematian Pak Agung (Pritt Timothy) memengaruhi perkembangan karakter Sancaka.
Ini yang bikin karakter Alana tidak terlalu menjejak bumi, alias kurang relatable. Ia memang digambarkan kuat, tangguh, tempramental, dan gampang panas. Tapi, semua kata sifat itu tidak diikuti alasan-alasan kuat. Kita cuma tahu kalau Alana kehilangan orang tuanya sejak kecil, dan terus-terusan didatangi Dewi Api (Dian Sastrowardoyo) dalam mimpi.
Tiap kali amarah merasuk ke tubuh Alana, ia akan melihat atau mendengar si Dewi Api.
Dalam Gundala, sosok Dewi Api itu adalah kerinduan dan trauma Sancaka ditinggal mati bapaknya dan kehilangan sosok sang ibu. Trauma itu juga dijahit rapi sepanjang film, sehingga kita bisa berempati dengan protagonis utama. Bikin penonton lebih bersimpati padanya.
Alana dalam Sri Asih kehilangan potensi dapat simpati itu. Kemarahan yang membakarnya sering kali terasa kosong. Padahal api tak bisa menyala di ruang hampa.
Musuh-musuh yang Gelap Belaka
Dalam
film ini, musuh Sri Asih jelas belaka: orang kaya yang tamak dan suka menindas,
institusi polisi yang korup dan tidak takut ketahuan tampang korengnya, serta
orang-orang berkuasa yang menyalahgunakan kekuasaannya.
Semua itu digambarkan gamblang. Prayogo (Surya Saputra) dan anaknya (Rendy Pangalila) jadi simbol orang kaya tamak dan suka menindas; Kepala polisi (Unique Pricilla) dan Jatmiko (Reza Rahadian) jadi simbol polisi; Ghazul (Ario Bayu) yang muncul lagi di sini jadi teman Prayogo sebagai representasi orang berkuasa yang semena-mena.
Masalahnya, dibanding Pengkor di Gundala, motivasi semua penjahat di atas tidak terlalu kuat dan penting-penting amat buat pengembangan karakter Sri Asih. Semuanya terlalu jahat, sehingga mudah saja untuk membenci dan mengutuki mereka, lalu berpihak pada Sri Asih. Satu-satunya fungsi penjahat-penjahat tersebut adalah sebagai alat agar penonton bertanya-tanya siapa tokoh di balik topeng Roh Setan—musuh utama Sri Asih di film ini, yang juga adalah salah satu pandawa Dewi Api (yang konon adalah Thanos di Bumilangit Universe).
Sayangnya, plot whodunnit itu terlalu banyak mencecerkan petunjuk. Sehingga kelak, ketika di ujung film tokoh asli Roh Setan terungkap, kejutannya tak akan berefek apa-apa.
Peran Perempuan dalam Sri Asih
Sri
Asih sebagai ikon feminisme di dunia komik bukan statement sembarangan. Ia
adalah tokoh adiksatria pertama yang diciptakan RA Kosasih, Bapak Komik
Indonesia. Sri Asih juga adiksatria perempuan pertama di Indonesia, sekaligus
yang pertama difilmkan di dunia. Di jagat Bumilangit, ia juga dikenal sebagai
salah satu yang paling terkuat.
Meski dikritik Lekra karena dinilai mengusung nilai kebarat-baratan, komik Sri Asih pada masa itu setidaknya telah memberikan ruang buat kita berimajinasi untuk punya pahlawan super perempuan—sesuatu yang sampai sekarang masih sulit dan terus diperjuangkan di Hollywood, tempat ekonomi industri film paling besar di dunia.
Dalam film versi sutradara Upi, pesan feminisme itu tentu saja kental terasa. Namun, tidak bisa dibilang lebih progresif dari yang sudah ada di komik bikinan Kosasih.
Alana memang superkuat. Dia lebih berani dari kawan-kawan laki-lakinya sejak kecil, tak takut melawan ketidakadilan, dan tidak mau tunduk pada aturan korup khas orang-orang kaya yang berkuasa. Tapi, untuk menunjukkan kekuatan itu, karakter Alana tampaknya sengaja dikelilingi karakter-karakter laki-laki. Seolah-olah untuk dianggap kuat, perempuan harus unggul dari laki-laki di sekitarnya (yang jadi simbol maskulinitas).
Konsep begini terlalu biner karena tidak menantang konsep kuat yang dimaknai masyarakat patriarki.
Di dunia Sri Asih versi Upi ini, semua laki-laki juga kelihatan lebih lemah dari Alana atau jahat belaka. Semuanya juga suka kekerasan, kecuali karakter Tangguh (Jefri Nichol), yang ujungnya juga memilih jalur kekerasan. Kontras ini mungkin sengaja dibangun untuk menonjolkan kemenangan Alana di ujung film yang berhasil memadamkan api dendamnya, dan memilih jalan kasih untuk menyelesaikan konflik.
Sementara karakter perempuan hanya ada empat jenis: Alana si superkuat, matriarkh (baik: Eyang Mariani, Sarita, Dewi Asih; yang jahat: Kepala polisi, Dewi Api), pelacur (Gisel), dan damsel in distress alias perempuan dalam bahaya (lewat karakter Renjana).
Kecuali Alana, karakter-karakter perempuannya masih terjebak sekat-sekat stereotipe perempuan di cerita-cerita klasik superhero. Mungkin efek dan pesan feminismenya akan lebih terasa jika karakter Tangguh dan Renjana ditukar posisinya—Renjana yang jadi sidekick Alana, dan Tangguh yang jadi damsel in distress.
Sumber Artikel:
https://magdalene.co/story/review-sri-asih
Posting Komentar untuk "Pahlawan Super Perempuan Indonesia (Review Film Sri Asih)"